Tantangan dalam Implementasi Kebijakan dan Penguatan Budaya Mutu

Budi Gautama Siregar
budigautama@uinsyahada.ac.id
Kapus Pengembangan Standar Mutu, LPM UIN SYAHADA Padangsidimpuan

Pendahuluan

Pendidikan tinggi merupakan salah satu fondasi utama dalam membentuk daya saing bangsa di tengah arus globalisasi yang kian kompetitif. Perguruan tinggi tidak hanya berperan sebagai lembaga pendidikan yang menyiapkan sumber daya manusia berkualitas, tetapi juga menjadi pusat penelitian, pengembangan teknologi, serta pengabdian kepada masyarakat. Dalam menjalankan peran strategis tersebut, aspek mutu tidak dapat diabaikan.

Kualitas pendidikan tinggi menjadi tolok ukur kemampuan institusi dalam menghasilkan lulusan yang kompeten, inovatif, dan berdaya saing, sekaligus sebagai indikator keberhasilan pelaksanaan tridharma perguruan tinggi[1]. Oleh sebab itu, penjaminan mutu tidak sekadar dipandang sebagai kewajiban administratif, melainkan merupakan kebutuhan strategis yang menentukan keberlangsungan serta reputasi perguruan tinggi baik di tingkat nasional maupun internasional.

Upaya penjaminan mutu di perguruan tinggi erat kaitannya dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah maupun lembaga akreditasi. Kebijakan tersebut berfungsi sebagai pedoman dan standar yang harus diikuti agar kualitas pendidikan tetap terjaga secara berkesinambungan. Meskipun demikian, pelaksanaannya di lapangan tidak selalu berjalan tanpa hambatan. Tantangan yang dihadapi tidak hanya mencakup aspek teknis, tetapi juga berkaitan dengan budaya organisasi. Penjaminan mutu menuntut keterlibatan seluruh sivitas akademika; dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa, dan pihak manajemen untuk secara konsisten menginternalisasi nilai-nilai mutu dalam setiap kegiatan akademik dan nonakademik.

Salah satu kendala yang kerap terjadi adalah adanya kesenjangan antara kebijakan penjaminan mutu dan penerapannya di tingkat operasional. Kebijakan yang telah dirumuskan dengan baik pada level pusat sering kali sulit diadaptasi menjadi langkah konkret di fakultas, jurusan, atau program studi. Hambatan ini dapat bersumber dari kurangnya pemahaman terhadap substansi kebijakan, keterbatasan sumber daya, hingga ketidaksesuaian kebijakan dengan kondisi dan karakteristik masing-masing perguruan tinggi[2]. Akibatnya, proses penjaminan mutu yang seharusnya bersifat terstruktur dan berkelanjutan justru terhenti atau sekadar menjadi formalitas.

Selain itu, pembentukan budaya mutu yang kuat juga menjadi tantangan tersendiri. Budaya mutu tidak dapat dibangun secara instan; ia memerlukan proses panjang, pembinaan berkelanjutan, dan teladan dari para pemimpin serta dosen senior. Rendahnya kesadaran akan pentingnya mutu sering membuat upaya penjaminan mutu dipandang semata-mata sebagai beban administratif untuk memenuhi persyaratan akreditasi, bukan sebagai bagian integral dari manajemen pendidikan. Padahal, tanpa budaya mutu yang tertanam dengan baik, kebijakan penjaminan mutu berpotensi hanya menjadi dokumen formal tanpa memberikan dampak nyata terhadap kualitas lulusan maupun layanan pendidikan. Lebih jauh lagi, kelemahan mekanisme monitoring, evaluasi, dan perbaikan berkelanjutan (continuous improvement) turut memperburuk situasi. Masih banyak perguruan tinggi yang belum memiliki sistem informasi mutu yang terintegrasi, sehingga data evaluasi yang dihasilkan kerap kurang akurat atau tidak lengkap. Selain itu, hasil evaluasi sering kali tidak diikuti dengan langkah perbaikan yang konkret, menyebabkan siklus penjaminan mutu yang seharusnya berjalan terus-menerus menjadi terputus.

Dalam konteks persaingan global, persoalan ini menjadi semakin mendesak. Perguruan tinggi dituntut untuk memenuhi standar mutu internasional agar dapat memperoleh pengakuan global. Lembaga pemeringkatan dunia seperti QS World University Rankings dan Times Higher Education menilai kualitas perguruan tinggi melalui berbagai indikator, termasuk reputasi akademik, mutu penelitian, rasio dosen-mahasiswa, hingga kerja sama internasional. Tanpa implementasi kebijakan yang konsisten dan budaya mutu yang kokoh, perguruan tinggi akan sulit bersaing di tingkat global serta gagal memenuhi ekspektasi para pemangku kepentingan, seperti mahasiswa, orang tua, dunia usaha, dan pemerintah.

Oleh karena itu, pembahasan mengenai tantangan implementasi kebijakan dan penguatan budaya mutu menjadi sangat relevan dan mendesak. Tulisan ini akan memaparkan tiga isu utama yang kerap dihadapi perguruan tinggi, yakni: (1) hambatan dalam menerjemahkan kebijakan menjadi strategi operasional, (2) kesulitan dalam menginternalisasi nilai dan budaya mutu, dan (3) keterbatasan mekanisme monitoring, evaluasi, serta perbaikan berkelanjutan. Pemahaman yang mendalam atas permasalahan ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam merumuskan strategi yang lebih efektif untuk memastikan penjaminan mutu berjalan konsisten dan memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.

Kendala dalam Penjabaran Kebijakan Menjadi Strategi Operasional

Proses menerjemahkan kebijakan penjaminan mutu ke dalam strategi operasional merupakan salah satu tahap paling menentukan dalam upaya peningkatan kualitas perguruan tinggi. Kebijakan yang bersifat makro, umumnya dirumuskan oleh pemerintah atau lembaga akreditasi harus diadaptasi menjadi rencana aksi yang relevan, kontekstual, dan sesuai dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki setiap institusi. Namun, dalam praktiknya, transisi dari kebijakan ke langkah operasional seringkali menghadapi tantangan kompleks yang dapat mengurangi efektivitas implementasi dan berdampak pada pencapaian tujuan mutu [3].

  1. Minimnya Pemahaman dan Sosialisasi Kebijakan

Salah satu hambatan mendasar terletak pada rendahnya pemahaman sivitas akademika terhadap substansi dan tujuan kebijakan penjaminan mutu. Dokumen kebijakan yang dirancang di tingkat pusat kerap sarat dengan istilah teknis dan bahasa regulatif yang kurang akrab bagi sebagian pemangku kepentingan. Tanpa proses sosialisasi yang komprehensif, interaktif, dan berkelanjutan, dosen, tenaga kependidikan, hingga pengelola program studi berpotensi tidak memiliki acuan yang jelas mengenai tahapan implementasi yang tepat. Kondisi ini menyebabkan pelaksanaan kebijakan berlangsung secara terfragmentasi, parsial, dan tanpa koordinasi yang memadai.

  1. Ketidaksesuaian Kebijakan dengan Karakteristik Lokal Perguruan Tinggi

Meskipun kebijakan penjaminan mutu dirancang untuk berlaku secara nasional, realitas di lapangan menunjukkan bahwa setiap perguruan tinggi memiliki visi, misi, dan struktur sumber daya yang unik. Ketika kebijakan bersifat generik dan tidak memperhitungkan keragaman kondisi institusi, proses adaptasi menjadi sulit. Sebagai contoh, indikator kinerja yang ditetapkan pemerintah mungkin relevan untuk perguruan tinggi besar dengan dukungan dana yang memadai, tetapi tidak realistis bagi institusi yang memiliki keterbatasan anggaran, tenaga ahli, maupun fasilitas pendukung.

  1. Keterbatasan Sumber Daya Pendukung

Kebijakan yang baik membutuhkan infrastruktur pelaksanaan yang memadai. Tantangan besar muncul ketika perguruan tinggi menghadapi keterbatasan anggaran, fasilitas fisik, dan tenaga ahli yang kompeten di bidang penjaminan mutu. Padahal, pelaksanaan strategi operasional memerlukan dukungan sumber daya yang cukup untuk melaksanakan pengukuran kinerja, proses monitoring, serta evaluasi berkelanjutan. Tanpa dukungan tersebut, pelaksanaan kebijakan berisiko terhenti di tingkat administratif tanpa memberikan dampak nyata terhadap peningkatan mutu.

  1. Kurangnya Koordinasi dan Integrasi Antar unit

Implementasi kebijakan penjaminan mutu menuntut sinergi lintas unit, fakultas, dan program studi. Namun, dalam banyak kasus, masih terjadi fragmentasi atau “silo” antarunit kerja yang mengakibatkan duplikasi program, ketidaksesuaian target, bahkan potensi konflik kepentingan. Ketiadaan mekanisme koordinasi yang terstruktur membuat setiap unit bergerak secara terpisah, sehingga tujuan mutu yang bersifat holistik sulit tercapai secara optimal.

  1. Kelemahan dalam Perencanaan Strategis dan Penetapan Indikator Kinerja

Tidak sedikit perguruan tinggi yang belum memiliki dokumen perencanaan operasional yang detail, terukur, dan berbasis data. Indikator kinerja yang digunakan sering kali hanya diarahkan untuk memenuhi persyaratan akreditasi jangka pendek, bukan untuk membangun kualitas yang berkelanjutan. Akibatnya, strategi operasional yang dihasilkan cenderung bersifat reaktif, kurang terintegrasi, dan tidak memberikan arah yang jelas bagi peningkatan mutu jangka panjang.

Keberhasilan penjabaran kebijakan menjadi strategi operasional memerlukan tiga fondasi utama: (1) pemahaman yang menyeluruh terhadap isi kebijakan beserta tujuannya, (2) kemampuan adaptasi terhadap realitas dan kebutuhan lokal perguruan tinggi, serta (3) dukungan sumber daya dan koordinasi yang terencana. Apabila ketiga prasyarat ini tidak terpenuhi, kebijakan penjaminan mutu berpotensi tidak lebih dari sekadar dokumen formal tanpa kontribusi nyata terhadap perbaikan kualitas pendidikan tinggi.

Hambatan dalam Internalisasi Nilai dan Budaya Mutu

Mewujudkan budaya mutu yang kuat dalam lingkungan perguruan tinggi bukan hanya persoalan teknis dan administratif, melainkan menyangkut proses perubahan nilai, sikap, dan kebiasaan seluruh warga kampus. Budaya mutu adalah refleksi dari kesadaran kolektif bahwa kualitas harus menjadi prinsip utama dalam setiap aspek penyelenggaraan pendidikan tinggi[4]. Namun, proses internalisasi nilai-nilai mutu tersebut kerap menghadapi berbagai hambatan yang kompleks dan saling berkaitan[5].

  1. Rendahnya Kesadaran Kolektif terhadap Pentingnya Mutu

Salah satu penghalang utama adalah belum tertanamnya kesadaran bersama mengenai pentingnya budaya mutu dalam menjalankan tridharma perguruan tinggi. Sebagian sivitas akademika masih memandang kegiatan penjaminan mutu sebagai beban administratif atau kewajiban formalitas demi akreditasi, bukan sebagai komitmen untuk perbaikan yang berkelanjutan. Hal ini menyebabkan implementasi mutu cenderung dilakukan setengah hati dan tidak menyentuh aspek substansial dari proses pendidikan.

  1. Budaya Organisasi yang Kurang Adaptif terhadap Perubahan

Banyak institusi pendidikan tinggi yang masih terjebak dalam pola kerja konvensional dan birokratis. Sistem yang telah berlangsung lama cenderung membentuk zona nyaman yang sulit diubah. Inisiatif-inisiatif penjaminan mutu seringkali mendapat resistensi karena dianggap mengganggu rutinitas atau menuntut standar baru yang lebih tinggi. Ketidaksiapan untuk berubah ini memperlambat proses penanaman nilai mutu secara menyeluruh.

  1. Kepemimpinan yang Tidak Konsisten dalam Mendorong Mutu

Kepemimpinan memainkan peran strategis dalam membentuk dan menumbuhkan budaya mutu. Namun, dalam praktiknya, tidak semua pemimpin perguruan tinggi menunjukkan keteladanan dan komitmen yang konsisten terhadap mutu. Ketika pimpinan tidak menjadi role model dalam penerapan prinsip-prinsip mutu, seperti integritas, akuntabilitas, dan orientasi hasil, maka akan sulit membangun kepercayaan dan partisipasi aktif dari sivitas akademika lainnya.

  1. Minimnya Pembinaan dan Penguatan Kapasitas Berbasis Nilai Mutu

Proses internalisasi nilai mutu memerlukan pendidikan dan pembinaan yang berkelanjutan. Sayangnya, kegiatan pelatihan dan pendampingan yang fokus pada penguatan nilai dan budaya mutu seringkali masih terbatas, baik dari segi frekuensi maupun substansi. Tanpa penguatan kapasitas yang memadai, individu dalam institusi akan kesulitan memahami serta menerapkan nilai mutu dalam konteks tugas dan fungsi masing-masing.

  1. Ketiadaan Sistem Penghargaan terhadap Praktik Baik Mutu

Budaya mutu akan tumbuh subur jika ada pengakuan terhadap upaya dan pencapaian yang berorientasi mutu. Sayangnya, masih banyak institusi yang belum memiliki mekanisme pemberian insentif atau apresiasi bagi staf yang konsisten menjalankan praktik-praktik berkualitas. Ketika inovasi, kedisiplinan, dan kerja keras tidak mendapatkan penghargaan yang layak, motivasi untuk berkontribusi dalam penguatan mutu pun menurun.

  1. Tidak Adanya Evaluasi Budaya Kerja yang Berbasis Mutu

Untuk mengetahui sejauh mana nilai mutu telah diinternalisasi, diperlukan sistem evaluasi yang mampu mengukur aspek budaya kerja, bukan hanya output administratif. Namun, banyak perguruan tinggi yang belum secara rutin melakukan refleksi dan evaluasi atas budaya kerjanya. Ketiadaan data dan umpan balik membuat institusi kesulitan melakukan perbaikan yang berbasis bukti (Evidence-Based Improvement), sehingga proses internalisasi berjalan tanpa arah yang jelas.

Proses internalisasi nilai dan budaya mutu memerlukan pendekatan yang terintegrasi antara penguatan struktural, pembinaan kultural, serta dorongan personal dari seluruh elemen kampus. Hambatan-hambatan seperti lemahnya kesadaran, resistensi terhadap perubahan, lemahnya kepemimpinan, hingga tidak adanya sistem insentif dan evaluasi budaya kerja, menjadi tantangan nyata yang harus dihadapi. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tidak hanya bersifat top-down, tetapi juga mendorong keterlibatan partisipatif seluruh sivitas akademika dalam membentuk budaya mutu sebagai bagian dari identitas institusi pendidikan tinggi.

Keterbatasan Mekanisme Monitoring, Evaluasi, dan Perbaikan Berkelanjutan

Monitoring, evaluasi, dan perbaikan berkelanjutan atau yang sering dikenal sebagai Continuous Quality Improvement (CQI) merupakan elemen vital dalam sistem penjaminan mutu perguruan tinggi. Ketiga komponen ini seharusnya membentuk satu siklus berkesinambungan yang tidak hanya memastikan kesesuaian pelaksanaan pendidikan dengan standar mutu, tetapi juga mendorong inovasi, peningkatan efektivitas, dan relevansi program pendidikan secara berkelanjutan. Meski demikian, implementasi CQI di berbagai perguruan tinggi masih menghadapi beragam hambatan struktural dan kultural yang menghambat optimalisasi sistem mutu.

1) Monitoring yang Tidak Konsisten dan Kurang Sistematis

Monitoring seharusnya dijalankan secara rutin dengan pendekatan berbasis indikator kinerja yang jelas, agar data yang diperoleh bisa digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan strategis. Namun kenyataannya, banyak institusi pendidikan hanya melakukan monitoring secara insidental, terutama saat mendekati akreditasi atau ketika terjadi masalah tertentu. Akibatnya, proses pengumpulan data menjadi reaktif, tidak terdokumentasi dengan baik, dan tidak terstandarisasi. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam melakukan analisis longitudinal yang diperlukan untuk melihat tren mutu dalam jangka panjang.

2) Evaluasi Cenderung Bersifat Formalitas

Evaluasi idealnya merupakan proses reflektif yang mampu mengungkap capaian, kekurangan, serta peluang pengembangan dari setiap aspek pendidikan tinggi. Sayangnya, di banyak perguruan tinggi, evaluasi hanya dilakukan sebagai kewajiban administratif semata, bukan sebagai alat untuk transformasi mutu. Laporan evaluasi sering kali disusun sekadar untuk memenuhi tuntutan lembaga akreditasi tanpa ada refleksi mendalam dari pengelola institusi. Alhasil, hasil evaluasi tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk pembelajaran institusional atau sebagai pemicu inovasi.

3) Ketidakterpaduan Sistem Informasi dan Data Mutu

Salah satu kendala teknis yang paling menonjol adalah belum adanya sistem informasi mutu yang terintegrasi antarunit dalam sebuah institusi. Data terkait mutu sering kali tersebar di berbagai unit kerja, dikelola secara manual, dan tidak terhubung dalam satu sistem yang komprehensif. Hal ini menyulitkan proses pelaporan, pemantauan kinerja, serta pengambilan kebijakan berbasis bukti (Evidence-Based Decision Making). Tanpa infrastruktur data yang solid, perguruan tinggi akan kesulitan dalam mendeteksi secara dini berbagai isu yang berpotensi menurunkan mutu layanan akademik dan non-akademik.

4) Kekurangan Sumber Daya untuk Evaluasi dan Tindak Lanjut

Pelaksanaan evaluasi yang bermutu membutuhkan kombinasi antara sumber daya manusia yang kompeten, instrumen evaluasi yang sahih, serta dukungan anggaran yang memadai. Sayangnya, unit penjaminan mutu di banyak institusi masih menghadapi keterbatasan dalam hal tersebut. Tidak semua tenaga pengelola mutu memiliki kapasitas dalam melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif terhadap data evaluasi. Selain itu, kekurangan anggaran membuat kegiatan seperti survei, audit internal, dan pelatihan peningkatan mutu menjadi sulit dilakukan secara berkala dan menyeluruh.

5) Lemahnya Implementasi dan Tindak Lanjut Hasil Evaluasi

Salah satu titik lemah yang paling krusial dalam siklus CQI adalah ketidakkonsistenan dalam melakukan tindak lanjut terhadap hasil evaluasi. Meskipun rekomendasi perbaikan telah disusun, banyak yang tidak diwujudkan dalam program kerja yang konkret dan terukur. Ketiadaan mekanisme pemantauan atas pelaksanaan rencana tindak lanjut menyebabkan hasil evaluasi tidak menghasilkan perubahan signifikan. Akibatnya, masalah yang sama cenderung terulang setiap tahun tanpa adanya pembelajaran atau transformasi sistem.

6) Rendahnya Budaya Reflektif dan Kritis

Penguatan CQI tidak cukup hanya dengan prosedur teknis dan kebijakan tertulis, tetapi juga membutuhkan pembudayaan sikap reflektif di seluruh lapisan civitas akademika. Sayangnya, masih banyak dosen dan tenaga kependidikan yang melihat evaluasi sebagai proses “pengawasan” yang bersifat mengancam, bukan sebagai sarana untuk tumbuh dan berkembang. Kurangnya kesadaran kolektif untuk menjadikan umpan balik sebagai dasar perbaikan menjadikan proses evaluasi minim partisipasi dan tidak menghasilkan perubahan mendalam. Resistensi terhadap kritik menjadi penghalang besar dalam pengembangan sistem mutu yang sejati.

Secara keseluruhan, keterbatasan dalam mekanisme monitoring, evaluasi, dan perbaikan berkelanjutan masih menjadi tantangan nyata dalam upaya penjaminan mutu pendidikan tinggi[6]. Tanpa sistem yang terstruktur, sumber daya yang memadai, serta komitmen institusi dalam menindaklanjuti temuan evaluasi, CQI berisiko hanya menjadi formalitas administratif. Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu membangun ekosistem mutu yang lebih terintegrasi, memperkuat kapasitas SDM, serta menumbuhkan budaya refleksi dan perbaikan terus-menerus agar sistem mutu tidak hanya berjalan di atas kertas, tetapi benar-benar menjadi napas dari seluruh aktivitas institusi.

Penutup

Pelaksanaan kebijakan serta penguatan budaya mutu merupakan dua elemen krusial dalam upaya membangun institusi pendidikan tinggi yang unggul dan kompetitif. Kedua aspek ini harus saling melengkapi dan berjalan beriringan agar sistem penjaminan mutu tidak sekadar menjadi formalitas administratif, tetapi benar-benar dapat diterapkan secara nyata di level operasional. Meski demikian, realitas di berbagai perguruan tinggi menunjukkan bahwa pelaksanaan keduanya masih dihadapkan pada beragam tantangan yang bersifat struktural, kultural, hingga teknis.

Salah satu tantangan signifikan adalah terjadinya ketimpangan antara perumusan kebijakan di tingkat pusat institusi dengan implementasinya di lapangan, seperti di tingkat fakultas, program studi, maupun unit-unit pelaksana teknis lainnya. Banyak kebijakan mutu belum diterjemahkan secara efektif ke dalam strategi dan langkah kerja yang sesuai dengan konteks masing-masing unit. Minimnya keterlibatan para pemangku kepentingan serta kurangnya komunikasi yang terbuka dan dua arah kerap menyebabkan kebijakan mutu dipahami secara terbatas dan tidak menimbulkan komitmen kolektif yang kuat.

Di sisi lain, menanamkan budaya mutu dalam kehidupan kampus bukanlah proses instan. Hal ini memerlukan perubahan mendasar dalam pola pikir, nilai, dan praktik kerja seluruh unsur sivitas akademika. Namun kenyataannya, pemahaman terhadap budaya mutu masih banyak yang bersifat sempit, terbatas pada upaya memenuhi persyaratan akreditasi semata, bukan sebagai bentuk komitmen terhadap perbaikan berkelanjutan. Tantangan seperti resistensi terhadap perubahan, minimnya pelatihan serta lemahnya pola pembinaan yang berkesinambungan menjadi hambatan utama dalam mewujudkan budaya mutu yang sejati.

Tantangan lain datang dari aspek teknis, seperti keterbatasan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi di bidang penjaminan mutu, belum maksimalnya pemanfaatan sistem informasi dan teknologi digital, serta lemahnya mekanisme pemantauan dan evaluasi. Tanpa sistem pendukung yang memadai, pelaksanaan kebijakan mutu berisiko menjadi kegiatan yang tidak konsisten, sulit dipantau, dan tidak berdampak signifikan. Hal ini juga berdampak pada rendahnya akuntabilitas dan terhambatnya proses perbaikan berkelanjutan dalam sistem mutu perguruan tinggi.

Untuk itu, dibutuhkan pendekatan menyeluruh dan terencana dengan baik guna menjawab kompleksitas tantangan yang ada. Perguruan tinggi perlu memperkuat kepemimpinan mutu di setiap jenjang, membangun pola komunikasi dan koordinasi yang kolaboratif, serta mendorong partisipasi aktif seluruh sivitas akademika dalam setiap proses mutu. Hanya dengan menjadikan mutu sebagai nilai yang hidup dalam budaya institusi, maka transformasi pendidikan tinggi yang berkelanjutan, tangguh, dan relevan dengan kebutuhan zaman dapat tercapai secara nyata.

Referensi

Adam, Bastari. “Peranan Manajemen Strategi Dan Manajamen Operasional Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan (Studi Kasus Di SMPN 13 Depok, Jabar).” Jurnal Tahdzibi 3, no. 2 (2018): 57–66. https://doi.org/10.24853/tahdzibi.3.2.57-66.

Haryoko, Sapto, Arsad Bahri, and Wahyu Hidayat. “Penguatan Kelembagaan Penjaminan Mutu Sebagai Upaya Menciptakan Budaya Mutu Di Universitas Negeri Makassar.” Seminar Nasional Hasil Penelitian LP2M-Universitas Negeri Makassar, 2022, 1815–29.

Ramadhan, Muhammad Aryo, Rini Setyaningsih, and Irawati. “Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) Di Perguruan Tinggi.” Jurnal Kependidikan Islam 15, no. 1 (2025): 23–34. https://doi.org/10.15642/jkpi.2025.15.1.23-33.

Siregar, Budi Gautama. “Pembelajaran Bermutu, Akreditasi Meningkat.” LPM UN Syahada Padangsidimpuan, 2025. https://lpm.uinsyahada.ac.id/pembelajaran-bermutu-akreditasi-meningkat/.

Sulaiman, Ahmad, and Udik Budi Wibowo. “Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Sebagai Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Di Universitas Gadjah Mada.” Jurnal Akuntabilitas Manajemen Pendidikan 4, no. 1 (2016): 17–32.

Tharaba, M. Fahim. “Membangun Budaya Mutu Sebagai Implementasi Penjaminan Mutu Dalam Pengembangan Pendidikan Islam Di Indonesia,” 2016, 1–19.

[1] Muhammad Aryo Ramadhan, Rini Setyaningsih, and Irawati, “Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) Di Perguruan Tinggi,” Jurnal Kependidikan Islam 15, no. 1 (2025): 23–34, https://doi.org/10.15642/jkpi.2025.15.1.23-33.

[2] Sapto Haryoko, Arsad Bahri, and Wahyu Hidayat, “Penguatan Kelembagaan Penjaminan Mutu Sebagai Upaya Menciptakan Budaya Mutu Di Universitas Negeri Makassar,” Seminar Nasional Hasil Penelitian LP2M-Universitas Negeri Makassar, 2022, 1815–29.

[3] Bastari Adam, “Peranan Manajemen Strategi Dan Manajamen Operasional Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan (Studi Kasus Di SMPN 13 Depok, Jabar),” Jurnal Tahdzibi 3, no. 2 (2018): 57–66, https://doi.org/10.24853/tahdzibi.3.2.57-66.

[4] Ahmad Sulaiman and Udik Budi Wibowo, “Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Sebagai Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Di Universitas Gadjah Mada,” Jurnal Akuntabilitas Manajemen Pendidikan 4, no. 1 (2016): 17–32.

[5] M. Fahim Tharaba, “Membangun Budaya Mutu Sebagai Implementasi Penjaminan Mutu Dalam Pengembangan Pendidikan Islam Di Indonesia,” 2016, 1–19.

[6] Budi Gautama Siregar, “Pembelajaran Bermutu, Akreditasi Meningkat,” LPM UN Syahada Padangsidimpuan, 2025, https://lpm.uinsyahada.ac.id/pembelajaran-bermutu-akreditasi-meningkat/.

kiky annisaa

kiky annisaa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *